11 February 2009

Stop Paradigma Sampan : Ayo Guyub Bung!


Tulisan ini berawal dari sebuah prosesi kematian. Di Bali. Persisnya 2 Oktober 2007. Dari titik itu seolah aku menemukan kacamata baru dalam memandang perjalanan hidupku. Juga mungkin perjalanan hidup kita, Bangsa Indonesia.

Di sebuah gedung rumah duka. Sebuah keluarga sedang berkabung. Meja dan kursi diletakkan ibarat pesta. Piring berisi makanan ringan serta setumpuk air kemasan gelas memenuhi ratusan meja. Bagi keturunan Tionghoa, kematian ibarat peristiwa kelahiran. Ada suatu perayaan yang sama. Kematian adalah keberangkatan, oleh sebab itu kerabat yang ditinggalkannya membuat suatu prosesi mengantar kepergian almarhum ke suatu tempat yang mulia.

Namun bukan itu yang ingin saya ulas dalam tulisan ini. Aku terpana melihat ribuan karangan bunga yang berjubel memadati rumah duka. Ya. Ribuan bunga! Ribuan kerabat, ribuan toko dan perusahaan memberikan ucapan belasungkawa kepada almarhum. Dari Cucu, keponakan, paman, anak, adik kakak, Bank, Pejabat bahkan kantor-kantor BUMN top mengirim bunga bagi kepergian almarhum.

Ini bukan mengenai kejumawaan orang Tionghoa. Ini tentang kekuatan persaudaraan. Kekuatan Networking. Kekompakan. Ini mengenai mahluk manusia! Yang memang diciptakanNya berpasang-pasangan, berkeluarga dan berkoloni ! Ya inilah wujud kehebatan dan keunggulan manusia! Ini pilihan bung ! Ya…Mereka memilih kuat dengan cara bergabung. Dalam suka dan duka.

Di Padang misalnya, ada sebuah perkumpulan etnis Tionghoa yang sangat tua, berdiri sejak 114 tahun yang lalu. Kumpulan yang diberi nama “ Himpunan Bersatu Teguh” ini dibentuk untuk tujuan sosial kemanusian di antara mereka sendiri. Setiap anggota disumpah untuk mati-matian bersatu. Kekompakan organisasi komunitas Tionghoa semacam ini juga banyak dijumpai di kota-kota besar. Mereka berkumpul tanpa memandang agama, profesi, derajat dan status social. Mereka menyumbangkan dana dan pikiran semampunya secara rutin. Bahkan katanya beberapa anggota yang kaya rela membagi 5% keuntungan usahanya demi kemajuan organisasi.

Dengan pengelolaan organisasi yang rapi dan pemanfaatan dana abadi yang accountable mereka bisa berbuat kebaikan apapun bagi anggota yang membutuhkan, seperti pemberian beasiswa pendidikan, biaya perkawinan, bantuan medis , biaya kematian, advokasi hukum, dan modal usaha. Organisasi ini juga dengan sendirinya memiliki fungsi sebagai pengontrol system social yang penting; yaitu dalam menjaga keharmonisan dan dinamika hubungan antar mereka sehingga tercipta situasi yang saling percaya, kondusif dan produktif.

Pemandangan hubungan yang guyub seperti itu sangat jarang kita jumpai di keluarga kita dan orang-orang di sekitar kita. Padahal sebagai manusia tidak beda dengan kita. Yang berbeda adalah bagaimana memilih paradigm hidup. Yaitu Cara pikir. Cara tindak. Cara memilih. Cara mempersiapkan. Cara menjalani. Cara menyelesaikan masalah. Cara memperbaiki. Dan cara untuk menjadi kuat!

Mereka suka bergandengan kita tidak. Mereka saling bertukar pengalaman, ilmu dan informasi kita tidak. Mereka saling bantu kita tidak. Mereka saling percaya kita tidak. Mereka saling tegur sapa kita tidak. Mereka suka duduk dan diskusi sedangkan kita suka ngambeg dan mutung. Mereka saling dukung kita tidak! Mereka sedikit tapi solid menggumpal sedangkan kita banyak tapi mawur dan tercerai berai.

Oleh sebab itu “gumpalan” orang-orang Tionghoa tidak cukup dengan sampan. Mereka tidak memilih sampan kecil untuk mengarungi ombak dan badai kehidupan. Mereka butuh kapal besar dan bekal besar. Sedangkan kita ini membangun paradigm sampan, yang puas berjalan sendiri-sendiri. Cukup hanya dengan sampan kecil (istilah Jawa : “getek”) dan bekal apa adanya.

Kisah sampan (baca: keluarga) kecil yang selalu terbalik dan pecah diterjang ombak kehidupan ini sudah jamak terdengar dari orang-orang di sekitar kita! Misalnya tentang kisah sebuah keluarga yang tiba-tiba kehilangan matapencaharian, sampai-sampai anaknya harus mandeg sekolah setelah Bapaknya pensiun atau kehilangan pekerjaan.

Bagaimana anak cucu tiba-tiba jatuh miskin, kelaparan dan tercerai berai setelah ditinggal mati kedua orangtuanya. Semua kejadian pilu itu menunjukkan rapuhnya fondasi keluarga kita. Satu kali hantaman badai saja sudah membuat seluruh sendi-sendi ekonomi dan ikatan social hancur dan sirna dalam sekejap. Anak sakit keras harta benda langsung ludes. Bapak sebagai tulang punggung keluarga mengalami jatuh bisnis keluarganya langsung kelaparan. Orangtua meninggal dunia keluarganya langsung berantakan.

Kisah seperti itu banyak di seputar kita. Kenapa kita rapuh, kenapa kita lemah dan kenapa kita tidak saling tolong menolong satu sama lain? Paradigma sampan ini menyebabkan mereka dan kita sudah terbiasa hidup sendiri sendiri. Hidup dengan sampan-sampan – kecil - sendiri sendiri dari generasi ke generasi.

Haru biru kisah anak bangsa ini perlu kita renungkan. Dan rubah. Kita musti stop sekarang agar tidak berulang lagi. Perjalanan kita masih jauh dan berliku ! Untuk menjadi bangsa besar kita musti kuat. Kita musti mulai dari keluarga kita, kerabat kita, dan orang-orang di sekitar kita. Kita musti bikin koloni besar dan kapal besar !.

Mari berkoloni ! Mari Berorganisasi ! Mari Guyub ! Mari Silaturahmi ! Mari saling percaya! Mari saling dengar!

AYA

No comments:

Post a Comment

 

VISI

Bila kita percaya dunia ini tempat mampir semata maka yakinlah bahwa bekal kita kesana hanya ketaqwaan.

Ketaqwaan adalah karakter manusia unggul , orang yang mempersembahkan sumberdaya terbaiknya bagi kebahagian, keselarasan dan kemaslahatan umat manusia dan alam sekitarnya.