23 August 2009

Harta Yang (Harusnya) Meneguhkan Jiwa


Ada satu pelajaran baik dari teman saya yang tinggal di Martapura, sebuah kota agamis, 40 Km di sebelah utara Banjarmasin. Adalah Abdullah. Dia seorang pedagang berlian partikelir dan juga seorang ustad yang santun dan alim, yang biasa dipanggil Habib oleh orang-orang terdekatnya. Pada usia yang masih muda, lulusan perguruan tinggi agama ternama di Mesir ini memilih menghabiskan hari-harinya untuk berkeliling membagi ilmu agama kepada jamaah daripada mengurus serius usaha berliannya.

Kepiawaian, tangan dingin dan network yang luas di Timur Tengah, membuatnya cukup berkelimpahan, meskipun sebenarnya untuk kesibukan duniawi ini, Habib hanya alokasikan sedikit waktu saja. Sebulan 2-3 kali transaksi berlian puluhan karat bernilai puluhan hingga ratusan juta sudah cukup membuatnya mudah mewujudkan pernak pernik duniawi apa saja yang diinginkannya.

Namun yang menarik bagi saya adalah kesederhanaan dalam memilih jalan hidup yang ingin dijalaninya. Kondisi ekonomi yang berkecukupan tidak membuat gaya hidupnya glamour. Bahkan dia bisa rem untuk tidak habis habisan dalam urusan duniawi ini. Dia mengajarkan kepada saya untuk mengambil secukupnya saja dari sekian besar peluang yang ada di depannya.

Habib hidup bahagia bersama istri dan 2 orang anak dengan cara yang bersahaja sebagaimana orang biasa. Rumahnya cukup besar dengan halaman terawat baik, namun tetap dalam bungkus sederhana, tidak mewah tapi tertata apik dengan furniture produk lokal terbaik. Mobil juga sepantasnya, sebuah Toyota Kijang keluaran tahun 2002.

Suatu saat di bulan Mei 2009 saya ke rumahnya, mengantar teman, seorang pengusaha Jakarta dengan tujuan mencari berlian untuk oleh-oleh istrinya. Namun saya melihat ada sesuatu yang berbeda. Sebuah pemandangan yang tidak biasa. Inilah yang akan menjadi pelajaran berharga yang ingin saya tarik dari kisahnya, yang InsyaAllah bisa menjadi bahan renungan kita di bulan suci Ramadhan ini.

Saya terpana melihat sebuah mobil Mercy tipe terbaru berwarna hitam metalik parkir di garasi rumahnya. Suatu barang asing bagi seorang Habib yang saya kenal. Bukan hanya tentang kemewahan mobil itu. Tapi juga karena di kaca mobil itu terpampang kertas karton dengan tulisan DIJUAL ! Ada apa ini ?

Setelah peluk cium sebagaimana kebiasaan sobat yang lama tak berjumpa. Habib akhirnya bercerita tentang barang asing itu. Memang benar dia ingin menjual mobil mewah yang baru dia beli 3 bulan lalu itu. Dia bahkan ingin menjualnya segera meskipun sedikit rugi. Katanya kehadiran mobil – yang tentunya diidamkan banyak orang, termasuk dirinya ini - ternyata malah mengganggunya.

Dia bercerita akhir akhir ini sering senewen, was was dan uring-uringan daripada kenikmatan dan kebanggaan seperti yang dia bayangkan dari mobil itu. Dan yang paling penting : si Mercy hitam itu telah mengontrol hidupnya! Dia seperti diperbudak. Hidupnya kehilangan kualitas !

Alih-alih menjadi tenang hatinya karena mimpi terpendam semasa muda telah berhasil diwujudkannya. Dia merasakan suasana rumah dan hubungan dengan keluarganya menjadi panas dan horror. Hidupnya yang nyaman berubah menjadi gerah karena “kecintaannya” pada barang baru seharga Rp.800 juta ini.

Anaknyapun, kata Habib ikut kena dampak. Si sulung kelas 5 SD ini menjadi tertekan gara gara kebiasaan bermain bebas di rumah harus di tahan karena takut kena omelannya. Suatu hari Habib memang pernah marah besar akibat bodi mobil Mercy tergores sepeda milik anak itu saat diparkir di garasi.

Bahkan kebiasaan barunya mendandani mobil agar selalu tampak kinclong telah memangkas waktu aktifitas utamanya, pengajian. Jadwal ceramah di luar kota yang biasanya selalu tepat waktu menjadi sering molor bahkan batal. Singkat cerita dia sekarang punya predikat baru : si pemarah, egois, dan tukang molor.

Kisah Habib memberi kita pelajaran bahwa semua yang ingin kita raih dan mimpikan di dunia ini sebenarnya belum tentu membawa kepada kebaikan dan manfaat buat hidup kita. Bisa jadi sebaliknya. Sering kita memproyeksikan mimpi dengan cara dan persepsi yang salah. Akhirnya bila kita terlambat menyadarinya, kita telah mendowngrade diri sendiri. Hal yang berharga yang telah kita punya, bisa sirna dan hancur berantakan.

Alhamdulillah, Habib menyadari sebelum terlambat. Bahwa kebahagiaan yang telah dibangun bersama anak istrinya dan orang orang di sekitarnya melalui proses bertahun tahun yang alamiah , dengan kondisi sederhana apa adanya ternyata lebih nyaman dijalani daripada mencoba gaya hidup baru yang dia impikan. Mobil Mercy ternyata tidak menambah kualitas hidupnya seperti yang dia bayangkan.

Terus buat apa dong harta yang kita kumpulkan & kedudukan yang ingin kita raih?

Berikut ini suatu rujukan penting tentang bagaimana seharusnya kita membelanjakan harta di dunia (lihat surah Al-Baqoroh Ayat 265): Di dalam ayat itu disebutkan bahwa ada 2 alasan orang boleh membelanjakan hartanya , yaitu untuk mencari ridloNya dan satu lagi untuk meneguhkan jiwa/hati.

Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridlaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang di siram oleh hujan yang lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimispun memadai. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat. (Al-Baqoroh, Ayat 265)

Dari ayat ini Allah menyebutkan “………… untuk keteguhan jiwa”. Artinya Allah memperbolehkan kita membelanjakan harta sejauh itu meneguhkan jiwa kita!

Mari kita renungkan tujuan hidup yang sudah maupun yang sedang kita jalani. Apakah semua itu akan membuat kualitas hidup kita lebih baik? Jika YA silahkan teruskan dan kembangkan. Tapi kalau apa yang kita capai saat ini sudah mulai menggoyahkan jiwa (misal : takut kehilangan harta & jabatan, mudah was was, sombong, kasar dalam bicara, suka uring uringan dan mudah marah, jarang silaturahmi dengan saudara , mulai tidak harmonis dengan keluarga, jarang ibadah, dll) maka segera EVALUASI kembali !

Yang perlu kita impikan hakikatnya bukan suatu benda yang mahal harganya, atau kursi kekuasaan yang setinggi-tinginya. Apalagi hanya sekedar status ingin tampak kaya dan tampak kuasa. Sebab semua itu tidak merubah kita. Apa yang selama ini kita sudah raih dari mimpi mimpi yang terwujud seharusnya membawa kita kepada ‘kualitas diri’ yang lebih baik.

Dari terbentuknya kualitas diri ini, akan membawa kita kepada hal-hal yang lebih baik, seperti menambah kecintaan kita kepada Tuhan, membawa kehidupan rumah tangga menjadi lebih harmonis, tumbuhnya persaudaran & persahabatan yang makin kokoh dan tulus, berkembangnya potensi diri dan kreatifitas, serta hal-hal lain yang penuh kemashlahatan dan kebaikan di muka bumi ini.

Renungkan kisah si Habib tadi. Renungkan hidup kita. Lihat juga contoh contoh di sekitar kita. Ternyata banyak contoh dimana harta dan kedudukan yang dimiliki membuat kualitas hidup orang menjadi makin buruk dari sebelum memilikinya. Harta bertambah membuat ketidaknyamanan juga bertambah.

Dulu mimpi ingin jadi ini jadi itu. Pengin ini pengin itu. Segala jerih payah, lengkap dengan keringat darah dicucurkan untuk mencapainya. Sholat,puasa dan dzikir jadi santapan utama. Sanak saudara, anak dan istri dihimpun untuk mengiring do’a. Tapi setelah semua tercapai, jiwa malah menjadi goyah. Kemesraan dan kekompakan keluarga tinggal kenangan. Rumah hanya tempat ganti baju, ibadah jadi terasa memberatkan dan mengganggu.

Mari kita renungkan sekali lagi : Sudahkah apa yang kita miliki dan raih saat ini membawa kehidupan kita lebih baik dan berkualitas?

Wallahua’lam bishowab.

2 comments:

  1. Anonymous4:49 AM

    thank you untuk tulisan yang bagus om!

    ReplyDelete
  2. Thank You for the sharing, om..:)

    ReplyDelete

 

VISI

Bila kita percaya dunia ini tempat mampir semata maka yakinlah bahwa bekal kita kesana hanya ketaqwaan.

Ketaqwaan adalah karakter manusia unggul , orang yang mempersembahkan sumberdaya terbaiknya bagi kebahagian, keselarasan dan kemaslahatan umat manusia dan alam sekitarnya.