14 January 2009

Sitok Srengenge : Surat untuk Teman di Ghaza

Begitu gema rudal itu sampai padaku, segera kukirim email, menanyakan kabarmu. Seminggu kemudian, ketika kian banyak korban berjatuhan, kukirim lagi surat yang lebih cemas. Keduanya, hingga kini, tak kaubalas.

Aku berharap kau sedang tidak berada di kota itu, Ghaza. Seperti tahun lalu, ketika berkali-kali aku mengontakmu, hanya sekretarismu yang selalu menjawab santun, mengabarkan bahwa kau sedang melakukan perjalanan di sebuah gurun. Tapi, ketika lebih dari tujuh ratus jiwa telah melayang sebagai korban kekejian, alangkah muskil berandai-andai bahwa kau sedang jauh dari kota kecintaan. Setiap kali kusaksikan seseorang tewas atau terluka dalam kecamuk perang tak seimbang itu, aku kembali teringat kamu. Entah mengapa. Barangkali lantaran perasaan, sedih atau senang, senantiasa membutuhkan nama.

Dan aku terkenang bagaimana pertama kali kauperkenalkan namamu. Ketika itu musim sedang gugur di Midwest, Amerika. Tiga puluh penulis dari dua puluh empat negara berkumpul di sebuah ruang bernama Common Ground, bagian dari hotel apik di pusat negara bagian Iowa. Pada dinding ruang itu terpampang peta dunia berukuran besar, agar para peserta dapat mengenalkan diri sambil menunjukkan di mana letak negeri mereka. Seorang demi seorang maju dan selalu berakhir dengan gemuruh tepuk tangan. Sampai pembawa acara memanggilmu. Oh, bukan. Ia memanggil seorang peserta dari West Bank, nama wilayah sebagaimana tercantum di kertasnya dan di peta dunia versi Amerika.

Kau beranjak ke bagian depan ruang dan berkata, “Kalian bisa memanggilku Ghaza, cara lebih mudah dibanding melafalkan nama lengkapku: Ghassan Zaqtan.” Setelah menyebut dirimu penyair, kau pun meralat penamaan yang keliru untuk tanah airmu. “Aku tidak berasal dari West Bank. Tanah airku bernama Palestina!”

Digerakkan oleh ikatan emosional, simpul gaib yang juga menghubungkan batin begitu banyak orang muslim di negeriku dengan warga negaramu, aku pun maju mendahuluimu mendekati peta di dinding itu. Dengan spidol merah, aku coret kata West Bank dan menggantinya dengan Palestine. Orang-orang serentak bertempik sambil tertawa. Kau memeluk dan memanggilku saudara.

Bahkan sesuatu yang tak kita bayangkan terjadi. Etgar Keret, peramu cerita dan pembuat film dari Israel, mengacungkan tangan dan mendukungmu. “Ghaza benar!” serunya. “Kita harus mengakui keberadaan negara Palestina.” Sejumlah orang Amerika yang hadir di ruangan itu seolah tak berdaya. Tak seorang pun menyanggah ketika Etgar maju berkeluh-kesah. “Politik,” katanya, “telah mengubah kedamaian di benak warga Palestina dan Israel menjadi konflik yang kian pelik.” Lalu, ia pun bercerita.

Di masa kanak dulu, sempat ia nikmati suasana damai itu. Di kotanya, Hebron, orang Arab dan orang Yahudi berhubungan layaknya handaitaulan. Di kelas ia pun belajar Quran dan bahasa Arab. Tapi, “Sekarang tidak lagi. Di banyak sekolah diajarkan bahwa orang Palestina adalah musuh, dan kami hanya boleh menggunakan bahasa Ibrani.”

Saat itu aku seakan melihat percik harapan. Kelak, ketika orang berpikir kritis tentang ajaran Hasan Al-Banna, tak lagi memuji patriotisme Amin Al-Husseini, mungkin mereka tak akan mudah terhasut oleh radikalisme Hamas, tak hanyut dalam haluan politik Benjamin Netanyahu atau Ariel Sharon yang ganas. Diperlukan seratus atau lebih banyak lagi Etgar Keret di Israel, juga seratus atau lebih banyak lagi Ghassan Zaqtan di Palestina, untuk memulihkan kerukunan cucu-cicit Ibrahim.

Tapi barangkali benar keyakinanmu, Ghaza, seteru bebuyutan itu tak mudah disudahi dengan sekian perjanjian dan genjatan senjata. “Gairah perang terus mengarus di urat nadi kami. Secara genetik gairah itu akan menurun ke sel-sel syaraf anak-cucu kami.” Dan kau pun berkisah tentang perlawanan Intifadah. Anak-anak belia Palestina yang, dengan bebutir batu dalam genggaman, gagah menghadang tank-tank Israel yang digerakkan oleh amarah dan kekejian.

“Kami adalah bangsa yang tak kunjung usai mengalami proses mimikri,” tuturmu lagi. Dulu, lanjutmu, Daud—moyang bangsa Israel—melawan raksasa Goliath seolah tanpa takut. Kini Israel telah menjelma Goliath yang lebih kuat dan orang Palestina mengandaikan diri sebagai Daud. Perang, katamu, tak melulu perkara kalah-menang, melainkan terkait erat dengan keyakinan dan harga diri—apa pun tafsir kita tentang keyakinan dan harga diri itu.

“Seperti rabuk, setiap pejuang yang gugur akan merangsang tunas-tunas baru tumbuh subur.” Tapi, sebagaimana kautulis dalam sajakmu, perang juga kenangan kelam yang muskil kaulupa.

Aku ingin mengenangmu
seperti lagu yang kuhafal di sekolah dasar dulu
lagu yang kuhafal secara lengkap tanpa kesalahan
cadel, kepala condong, sumbang
kaki-kaki kecil penuh semangat menapaki jalanan bersemen
tangan-tangan terbuka yang menepuki bangku-bangku

Mereka semua tewas dalam perang,
sahabat-sahabat dan teman-teman sekelasku
kaki-kaki kecil mereka/ tangan-tangan lincah mereka.

Mereka masih menapaki lantai setiap ruangan
menepuki meja-meja
dan masih menapaki trotoar-trotoar jalan,
menepuki punggung orang-orang lewat, pundak-pundak mereka
Ke mana pun aku pergi
aku masih mendengar mereka
aku masih melihat mereka

Di lain kesempatan, kutemukan kau tercenung di kamar hotelmu. Sebetik berita buruk baru saja kauterima. Rumah dan kantormu di Ghaza dihancurkan serdadu Israel dengan serbuan udara. “Aku sedang membangun rumah di Ramallah.”

Di atas mejaku di Ramallah
surat-surat yang belum selesai
dan foto teman-teman lamaku,
tulisan tangan seorang penyair muda dari Ghaza,
jam pasir
Larik pembuka yang mengepak di kepalaku seperti sayap

“Saya sampaikan hormat dan terima kasih atas simpati dan solidaritas kaum muslim di negerimu,” katamu. “Tapi, katakan kepada mereka, perang kami bukan perang agama. Di Palestina, orang Islam berjuang bersama orang Kristen, bahkan mereka yang ateis; melawan Israel.”

Andai kausampaikan kalimat itu sekarang. Andai kau mengabarkan keadaanmu, juga aktivitasmu, dalam bengis perang itu. Ah. Aku hanya bisa berharap kau selamat. Kubayangkan saat ini kau sedang gelisah di sebuah bukit di Ramallah, di rumah barumu yang katamu punya panggung kecil, di mana suatu waktu, ketika dunia damai, kau ingin mengundangku membaca sajak sambil memandang ke arah lembah.

▪ Sitok Srengenge


No comments:

Post a Comment

 

VISI

Bila kita percaya dunia ini tempat mampir semata maka yakinlah bahwa bekal kita kesana hanya ketaqwaan.

Ketaqwaan adalah karakter manusia unggul , orang yang mempersembahkan sumberdaya terbaiknya bagi kebahagian, keselarasan dan kemaslahatan umat manusia dan alam sekitarnya.